Kamis, 27 Oktober 2016

Mendaki Papandayan Part 1

Setelah petualangan mendaki di cikuray yang sangat menakjubkan, ku ingin mendaki kembali. Hari demi hari pun terus disibukan dengan pekerjaan. Meskipun ada hari libur, waktunya tak akan cukup ditambah biaya yang belum siap mengsupport.

Sampai hari dimana bulan penuh suci pun datang. Yaitu bulan Ramadhan, bulan yang sangat ditunggu – tunggu bagi semua muslim.

Disaat malam tarawih ada temanku yang mengajakku mendaki ke gunung papandayan, namun belum ada kepastian kapan kami mendaki. Awalnya banyak sekali yang ingin ikut serta dalam pendakian ini, namun yang tetap bertahan hanya ada 5 orang yaitu : Zidan, Rizky, Angga, Luthfi, dan Aku.

Kemudian besoknya kami berdiskusi kapan tanggal yang tepat untuk pendakian ini? Dan berapa perkiraan biayanya? Zidan memprediksi sekitar 200 Ribu, karena dialah yang mendirikan acara ini dan dia pula yang menetapkan kapan pendakian dimulai.

Dia berencana mendaki tiga hari setelah Lebaran. Dikarenakan 1,2 atau 3 hari setelah lebaran mungkin volume kendaraan sangat padat, jadi dia menyarankan kita untuk berangkat menggunakan kereta ke Garut. Selain menghemat biaya, naik kereta sangat terjangkau karena bebas dari macet. Namun semua rencana ini diluar perkiraan kami.

Di H-1 kami mengatur dan berdiskusi. Barang apa saja yang akan kita bawa dan apa saja persediaan makanan yang harus kita bawa, Kami tak sempat menyewa tenda, gas, dan kompor mini. 

Keesokannya di hari jumƔt kami pergi ke STT Telkom untuk mencari tempat penyewaan camp namun tempat penyewaannya tutup, karena kita mendaki di hari dimana banyak orang pulang ke kampung halaman. Kami mencoba mencari di internet tempat penyewaan yang masih buka dan jaraknya yang dekat, karena jam 2 kita harus segera berangkat. Alhamdulillah keberuntungan menghampiri kita, ada tempat penyewaan yang masih buka dan jaraknya pun sangat dekat dengan lokasi kita. Tanpa basa basi kita pun lekas pergi kesana. Dan sesuai dugaan tempatnya masih buka dan tendanya masih ada, namun kompor dan gas stoknya sudah habis.

Kemudian kami menunggu kedatangan teman Zidan yang bersedia meminjamkan kompornya. 2 Jam kami menunggu akhirnya dia datang. Setelah itu kami pulang kerumah masing – masing untuk mengurus keperluan – keperluan yang harus kita bawa.

Jam menunjukan pukul 14.00 yang artinya kita bergegas berkumpul dan siap berangkat ke stasiun Kiaracondong. Sebelum pergi ketempat tujuan, kami berencana ke rumah Zidan yang ada di Lewigoong garut untuk beristirahat semalam sebelum pendakian dimulai.

Di stasiun Kiaracondong banyak sekali yang antri untuk pulang kampong, bahkan ada yang menunggu dari jam 5 subuh. Mereka rela lakukan ini agar bisa bertemu dengan sanak saudara di kampong halaman yang sudah menunggu kehadirannya.

Aku pun heran “Jika mereka mengantri jam 5 subuh, itu artinya kesempatan dapat tiket keretapun mustahil” yang antri bukan hanya 1  atau dua tapi puluhan sedangkan volume tiket hanya untuk 250 orang dan kita mengantri di siang hari, yang artinya tiketpun sudah hamper habis.

Kemudian ada pengumuman dari petugas kereta yang mengatakan bahwa tiket menuju stasiun Lewigoong sudah habis.

Awalnya kami putus asa, namun seorang laki – laki menghampiri dan menanyakan kemana tujuan kami pergi. Dia menawarkan tumpangan ke tempat tujuan kami, namun biayanya terlalu mahal di banding naik kereta. Kami terus memohon keringanan biaya dan akhirnya dia setuju namun ironisnya hal itu hanya berlaku terhadap kami sedangkan penumpang yang lain tidak.

Kamipun pergi memakai mobil dan terdapat 14 penumpang didalamnya…. Keadaan sesak dan pengap harus kami hadapi Karena mobil ini hanya memiliki ventilasi yang kecil.

3 Jam perjalanan kami, akhirnya sampailah kami di tempat tujuan… Pemandangan sunset yang indah dan begitu sejuknya udaranya. Kehidupan dimana mereka belum terlalu mengenal dunia modern, terlihat dari banyaknya sawah – sawah yang ada di depanku.

Bersambung...


Sabtu, 19 Maret 2016

Alam yang hilang

Alam adalah ciptaan Allah S.W.T yang sungguh luar biasanya mendatangkan keberkahan bagi umatnya.

Alam adalah sumber mata pencaharian dan pengetahuan bagi umat manusia. Kehadirannya membuat kenangan yang indah dan tak ternilai harganya. Kehadirannya pula dapat memberi manfaat bagi mereka yang mencintainya, ataupun dapat memberi ancaman bagi mereka yang menyakitinya.

Alamlah sumber pengetahuan dan sejuta pengalamanku. Tanpanya aku tak mungkin dapat bertahan hidup didunia ini. Dulu aku sering bencengkrama dengan alam, berinteraksi dengan pepohonan dan rerumputan, meski mereka memberikan jawaban yang sama.

Dulu dikala masih kecil, kami sering bermain dengan alam atau kebanyakan orang menyebutnya “bobolangan” , kegiatan yang kami lakukan sangat banyak mulai dari ngurek belut (mancing belut sawah), ngusep (mancing ikan), memetik buah buahan, mandi di sungai dll.

Tempat yang sering kami mainkan itu letaknya di daerah yang sekarang dihuni oleh Amaya Residence, sungguh sedih rasanya bila tanah yang sering kami mainkan sekarang menjadi perumahan konglomerat. Padahal sawah - sawah  disana merupakan sumber mata pencaharian masyarakat. Bahkan tak segan – segan mereka menawarkannya dengan harga tinggi, hingga membuat orang tergiur akan tawarannya. Namun alhamdulillah sawah yang disewa ayahku tetap tak di jual hingga sekarang.

Dulu kami tak tak mengenal alat elektronik seperti gadget dan hp. Begitu asyiknya kami bercengkrama dengan alam hingga tak memperdulikan apa yang sedang terjadi di area perkotaan.

Hal yang paling aku ingat itu disaat mencari belut. Kami tak mengurek melainkan mencari, ada istilah dari sahabatku namanya Pedri dia bilang “kalau kita nemu ular sawah tiga kali, nanti kita pasti akan dapat belut” Aku begitu polosnya setuju dengan istilah itu, namun hal mengejutkan ialah disaat kami ketemu ular sawah tiga kali, ehh taunya beneran kita nemu belut yang nongol di lubangnya.
Tanpa basa basi kami pun langsung mengeruk tanahnya hingga merusak lahan sawah orang lain hingga mendapatkan apa yang kami cari.

Tiap minggu pun kami sering ke daerah batununggal, bukan untuk olahraga ataupun menjahili rumah orang lain, melainkan mencari impun (ikan kecil) di selokan perumahan. Banyak sekali impun disana, bahkan pemilik rumah pun tidak menyadari bahwa di selokan rumahnya penuh dengan impun dan sampai sekarangpun selokan rumah itu masih di penuhi impun.

Banyak sekali petualangan – petualang masa kecil yang penuh kenangan mulai dari ngurek belut disaat hujan, ngusep di sawah orang lain sampe di kejar pemiliknya, main bola yang kalah harus telanjang, nyari buah buat di rujak, berenang di sawah, main layang – layang, main kelereng, melihara jangkrik, melihara ikan cupang, dll.

Sangat disayangkan, anak kecil yang terlahir di zaman sekarang tak dapat merasakan bagaimana asyiknya bercengkrama dengan alam, berinteraksi dengan alam, dan bertukar pikiran dengan alam.




Rabu, 16 Maret 2016

Aku anak nakal ?

Terkadang disaat mengingat kembali masa - masa kecil suka tertawa sendiri. Saking asiknya menjelajah memori masa kecil, sampe di bilang gila oleh Ayahku dan Kakakku.

“Cocon”, “Conor”, “Mercon”, “Kencon” adalah nama panggilanku ketika kala masih kecil. Tanpa kusadari hari demi hari panggilan itu muncul di setiap orang yang bertemu denganku. Terkadang aku merasa heran apa yang sudah kulakukan hingga membuat mereka memanggilku dengan sebutan itu, lama kelamaan hampir semua orang menyebutku dengan panggilan itu, kecuali sahabatku mereka masih memanggilku dengan nama asliku.
Saat itu aku masih polos tak tahu apapun, jadi apapun yang mereka katakan selalu aku abaikan. Aku tak peduli sedikitpun tentang nama panggilan atau apapun, yang penting mereka menerima kehadiranku.

Kejadian pertama disaat aku mendapatkan nama panggilan itu adalah membakar saung tetangga. Awalnya memang tak ada niat sedikitpun untuk membakar saung, karena di balik itu semua aku sedang berteduh menunggu hujan reda bersama sahabat baikku.
Cerita ini sungguh lucu, aku begitu polosnya hingga tak memprediksi apa yang akan terjadi bila aku melakukan hal itu. Hal ini kadang sering membuatku senyum sendiri bagaikan orang gila di pinggir jalan yang sedang cungar cengir (senyum senyum).

Awal kejadiannya disaat kami mau pulang kerumah. Tiba -  tiba hujan lebat disertai petir kilat datang kami terpaksa berteduh di sebuah saung dekat rumah jaraknya mungkin hanya 50m. Tadinya aku mau pulang langsung, hanya saja petir itu yang membuatku takut dan kami terpaksa berteduh disana sampe hujan reda.

Kami sangat kediningan, saung itu tak memiliki dinding untuk menahan laju angin hingga terpaksa harus membuat api ungun untuk menghangatkan tubuh kami. Ide ini tak tau siapa yang buat dan saking polosnya mereka setuju. Kebetulan banget disaung itu ada korek dan kertas kami bakar satu persatu, hingga api membesar sampe ke atap sampai melahap setengah isi saung. Untung saja saat itu masih hujan, jadi saungnya ga kebakar semua. Namun tetap saja hal itu membuat semua orang khawatir bila api membesar dan menyebar ke setiap rumah warga yang berdekatan dengan saung.

Kejadian kedua disaat aku dan sahabatku merusakkan Kios mini milik pamanku. Awalnya juga memang ga ada niat sama sekali, karena di balik itu semua aku sedang bermain gambar di dalam dan ada sahabatku sedang tidur pulas di atas yang biasa di pake untuk menyimpan barang.

Awal kejadiannya disaat kami sedang bermain gambar di lantai bibiku, tapi kemudian bibiku menyarankan untuk mencari tempat lain, karena suara kami terlalu berisik hingga membuat tidur orang lain terganggu.

Saat itu aku tak tau harus kemana lagi, kemudian ada usulan entah dari siapa (maaf lupa lagi hehe) untuk bermain di dalam kios. Kemudian kami asyik bermain didalamnya, ada yang sedang bermain ada pula yang sedang tidur diatas tempat penyimpanan barang. Tubuh mereka itu munyil walaupun lubangnya kecil tapi tetep aja masuk namun hal fatal yang terjadi adalah dia tidur terlalu mengarah kesamping, hingga keseimbangan kios itu jatuh. Aku segera lari keluar kios namun temanku yang sedang tidur tak dapat melarikan diri karena tempatnya sempit. Namun alhamdulillah tak ada luka apapun, namun kios itu rempeng dan terdapat remukan bagaikan body mobil yang terserepet motor. Kejadian itu membuat pemanku rugi, karena tak dapat menjual Pais lauknya di kios itu dan terpaksa dia menjual pais lauknya di depan rumah.

Setelah semua kejadian itu, aku begitu polosnya tak memperdulikan resiko apapun yang akan menimpa diriku. Namun seiring berjalannya waktu, banyak orang yang memanggilku “cocon”, “conor”, “kencon”, “mercon”, tapi sahabatku tak mungkin memanggilku dengan sebutan itu, karena kita adalah sahabat baik dari balita.


Saat ini kadang masih ada yang manggilku dengan sebutan itu. Namun seiring berjalannya waktu panggilan – panggilan itu hilang. Mungkin mereka telah melupakan kejadian kejadian nakal masa kecilku, karena menurut pandangan mereka diriku yang sekarang sudah berubah dengan aku yang dulu.



Minggu, 28 Februari 2016

Pertama kalinya mendaki gunung Part 2

"Ohh gitu,, aku masuk ke camp dulu ya, cuaca disini dingin". Ungkapku

Malam ini aku harus bertahan dari dinginnya suhu yang mungkin hampir setara dengan cuaca di kutub. Untung saat itu aku bawa jaket tebal yang hampir mirip dengan jaket pemadam, pemberian dari pamanku yang bekerja di PT Len, saat itu beliau memberikanku jaket untuk persiapan keberangkatanku.

Aku mengerti begitu dinginnya malam hari di tengah hutan, bahkan siang pun tetap saja dingin. Sangat disarankan membawa 2 jaket, untuk menghindari terjadinya Hipo (Hipotermia). Banyak dari pemula yang terkena hipo, mereka meremehkan cuaca tengah hutan di malam hari. Api ungun lah yang menjadi penghangat serta penerang jalan menuju puncak. Bahkan meski tengah malam seperti ini, banyak orang yang melanjutkan perjalanan demi melihat pemandangan matahari terbit.

Setelah sarapan kami ber 7 pun tidur, tapi kakaknya helmi ga mau tidur, karena takut ada pembegalan. Pernah aku mendengar rumor banyak orang yang terkena begal, mereka membawa golok dan pisau untuk mencuri barang berharga dari korban. Dan ingat jangan bawa barang berharga disaat kita mau mendaki, selain HP. Usahakan kalau bisa jangan bawa kamera DSLR, karena satu - satunya barang yang paling di incar selain uang dan HP, yaitu Kamera. Kami ber 7 bergantian menjaga keamaan pada barang bawaan dan mencek kondisi luar untuk mengantisipasi terjadinya bencana yang sangat tidak kita harapkan seperti longsor atau banjir. Curah hujan disini tidak terlalu tinggi, banyak orang yang melanjutkan perjalanan untuk melihat sunrise atau tempat camp di dekat puncak.

Waktu menunjukan pukul 03.00 kita pun bersiap - siap melanjutkan perjalanan. Perjalanan kali ini mungkin tidak akan lama, karena kita tidak bawa Courir yang menjadi beban pendaki. yang kita bawa hanyalah HP dan senter sebagai penerang jalan, awalnya aku mengira "gimana mau jalan di malam hari yang gelap gulita ini" tapi jangan risau banyak sekali pendaki yang melanjutkan perjalanan. Setiap jalan dihiasi lampu terang benderang, sungguh indah sekali melihatnya, bagaikan kunang - kunang yang sedang bermigrasi (lebay kali yee).

Sudah ratusan mungkin ribuan kali ku menaiki anak tangga. begitu kerasnya cobaan ini, banyak dari mereka yang menyerah sampe Pos 4 atau 5. Kebanyakan dikarenakan supply makanan dan minumannya habis, banyak juga yang memberikan mereka minuman untuk kepergian pulangnya. Hati nurani pendaki sungguh dermawan, mereka peduli sesama dan merasakan begitu kerasnya dan letihnya hanya demi menaiki puncak. Aku pun begitu letihnya sampe - sampe botol aqua yang ku persiapkan pun hanya tersisa 1 setengah botol, padahal setiap orang bawa 4 botol aqua besar. Ketika berpapasan dengan pendaki lain yang hendak menurun kebawah, mereka bilang "Semangat yaa" "Ayo semangat 30 menit lagi". setelah mendengarnya lega sekali bila benar yang dikatannya itu benar, tapi kenyataannya kita udah berjalan lebih dari 30 menit bahkan 1 jam. Aku paham apa maksud para pendaki itu, mereka bilang seperti itu supaya suasana tidak begi hening, sepi dan sebagai penyemangat bagi pendaki lain.

Aku melihat cahaya dari langit yang menunjukan bahwa kita hampir sampai ke puncak, kemudian kita pun bergegas dan mempercepat langkah kaki supaya matahari terbit tidak terlewatkan. Oksigen disini begitu sedikit karena tekanan udara yang begitu rendah, apalagi kita harus berebut oksigen dengan para pendaki lain, sehingga semakin kecil kadar oksigen disini. Kadang ada juga yang bawa tabung mini oksigen untuk memperkuat stamina disaat mendaki. Langkah demi langkah ku percepat hingga tiba di puncak.

Alhamdulillah targetku selesai, misi kami berhasil. Yang tadinya letih, sakit punggung, keram, dll. semuanya terbayar setelah melihat pemandang yang begitu luar biasanya ciptaan Allah Subhanahu Wata'ala. Puncak ini di kelilingi awan putih tebal yang begitu mulusnya bagaikan kapas lembut. Banyak orang yang mengambil foto sebagai kenang - kenangan mereka, banyak juga yang menuliskan nama di kertas, sebagai hasil jeri payahnya pada teman yang dituliskan di atas kertas itu. Ada juga yang rela naik bangunan yang disediakan oleh pemerintah hanya untuk mengambil foto, ku perhatikan setiap wajah senyum mereka yang penuh kebahagiaan dan rasa syukur terhadap ciptaan Allah Subhanahu Wata'ala yang begitu luar biasanya. Aku pun ikut berbondong - bondong untuk mendapatkan foto, kami ber 7 pun berfoto bersama dengan wajah yang penuh cileuh dan rambut yang rawig acak - acakan hahaha ...

Dalam foto ini begitu banyak kisah yang begitu luar biasanya








P.S :
Ku ucapkan Jazakumullah Kheir pada sahabat baikku Helmi Rafsanjani, Kakaknya, & rekan kerja kakaknya. Pengalaman ini sungguh luar biasa, aku mungkin tak akan bisa melupakan momen indah ini. Karena berkat kelembutan hati mereka, aku dapat memetik pelajaran berharga dalam hal pendakian.

Sabtu, 27 Februari 2016

Pertama kalinya mendaki gunung Part 1

Tak pernah kubayangkan bagaimana rasanya mendaki jalanan yang menjulang keatas layaknya menaiki ribuan anak tangga.

Pertama kalinya mendaki, aku di ajak teman sekelasku ke Gunung Cikuray yang tingginya mencapai 2818 mdpl. Yang ada di bayanganku setelah melihat gambar di google, mungkin terasa mudah, tapi setelah merasakan begitu kerasnya perjuangan. Hal tersebut layaknya orang yang sedang berusaha menuju kesuksesan.

Disaat persiapan menuju Gunung Cikuray, aku cek persediaan makanan, minuman, obat - obatan, pakaian, dll. Kakak teman sekelasku nanya
"Kamu bawa berapa botol aqua ?"
"Aku bawa 2 botol aqua yang besar" Jawabku
"Tambah lagi 3 botol aqua yang besar" landasnya
Sungguh heran padahal ini bukan aqua yang 600 ml, aku turuti setiap permintaanya karena dialah yang paling berpengalaman diantara kami ber 7. Dia juga menyarankan agar jangan terlalu banyak bawa pakaian, cukup baju kaos 1, celana panjang 1, dan jaket 2. Hal itu lebih ringan dibawa dibanding harus bawa selimut, bantal, dll. Pendaki yang lain mungkin akan menertawakan kalian bila membawa selimut, bantal, dll. Karena kita nginep di gunung bukan hotel, tapi jika selimutnya sarung ya gpp yang penting ringan. Dia juga menyarankan untuk memperbanyak persediaan makanan dibanding pakaian.

          Kemudian kami ber 7 berangkat malam supaya tiba disananya subuh, jadi kita ga perlu hamburin senter buat mendaki. Sebelum tiba di jalan raya dekat kaki gunung cikuray, ku lihat banyak sekali bintang kerlap kerlip menghiasi setiap jalan yang kulalui, temenku sibuk mengendarai motornya dan aku begitu asyiknya melihat pemandangan ciptaan Allah S.W.T yang luar biasa begitu indahnya hingga membuat kelopak mata manusia yang melihatnya terpana.

Ohh iya sebelum kita tiba di Pemancar dimana pendakian kita dimulai, kalian harus memilih salah satu diantara 3 rute yaitu : Desa Babakan Loak, Desa Cisumur, Desa Mekarsari. Aku tak tau rute apa yang kulali karena aku seorang pemula jadi aku hanya diam sambil melihat pemandangan pagi di setiap desa yang begitu tenang tanpa adanya polusi dan kendaraan yang sering kita lihat di kepadatan kota. Keseharian mereka hanya bertani dan bercocok taman, tanpanya mungkin bahan pokok tidak akan ada di setiap kota.

Nah sesampai kita di Pemancar kita bisa mulai mendaki, kami ber 7 mulai mendaki sekitar pukul 07.00 pagi, lucunya yaitu temen sekelasku helmi, dia malah bawa courier Irvan yang tingginya sekitar 100 cm dan isinya banyak sekali pakaian dan makanannya, Aku bawa courier helmi karena barang bawaanku sedikit jadi barangku disatuin kedalam couriernya helmi. Awal mendaki mungkin masih ringan karena kita belum masuk hutan, tapi kalo udah masuk hutan kita akan setara dengan latihan TNI (lebay banget). Helmi begitu capek menggendong courier Irvan dan dia hanya membawa Trash bag, karena berat badannya yang guede atau bisa di bilang gendut *maaf, jadi dia ga bisa nahan benda berat bila mendaki. Aku sama helmi gantian gendong tas irvan yang begitu beratnya mungkin setara bawa 3 Gas Elpiji yang isinya 3kg.

"Jika kita udah masuk hutan jangan pernah sembarang nyebut - nyebut nama hantu" Kata temen kakaknya Helmi.. (Lupa lagi namanya)
"BerdoĆ” aja supaya diberi keselamatan" Tambahnya
"Dig (nama aslinya Ilham tapi sering dipanggil badig) didinya kan geus pangalaman, bener kitu aya nu pernah diudag jurig didieu ?" Tanyaku
"Heeh matakna tong nyebut kasar di diditu mah, komo deui ngaran jurig"
Aku diam dan takut karena belum pernah sekalipun masuk hutan curam.

Setibanya di hutan begitu banyaknya pendaki, mereka berasal dari jawa barat, jawa timur, jawa tengah, jakarta bahkan ada juga dari kalimantan. Hal yang paling menyenangkan saat naik gunung itu kita saling bersapa dan silaturahmi kepada setiap pendaki, kata yang sering mereka ucapkan "Punten" "Mangga" "Semangat! Semangat!" "Semangat 30 menit lagi". Kata- kata itu supaya kita sesama pendaki tidak merasa sepi dan bosan, aku sih ga tau apakah pendaki luar negeri sama seperti indonesia, setiap kali bertemu bilang "Semangat Ayo Semangat!". Atau mungkin hanya Indonesia yang seperti itu.

Begitu lelahnya kaki ini setelah menaiki ratusan anak tangga sampai detak jantung pun berdebar kencang. Hal yang paling nyesek itu disaat kita mendaki dari Pos 2 sampe Pos 3 yang jaraknya sangat jauh. setibanya di Pos 3 itu sekitar jam 11.30 dan bertepan dengan datangnya hujan. Hujan adalah musuh para pendaki, karena disaat hujan turun maka kita harus siap siaga mendaki agar tidak terpelesat dan lebih parah lagi kalo masuk Jurang, rumornya pernah ada orang yang terpeleset masuk jurang disaat hujan.Setelah mendengarnya, ku perhatikan setiap langkah kaki bahkan sapaan dari pendaki lain pun kadang aku abaikan. Pos 3 menuju 4 memang begitu lama, perkiraan bila tak hujan mungkin 1 jam 30 menit pun udah sampe ke Pos 4, tapi apa daya kita tak bisa melawan hukum alam, perjalan terus lalui bahkan aku sendiri pun kadang harus minta bantuan pada pendaki lain untuk melewati track curam. Setibanya di Pos 4 itu sekitar jam 02.40, nah Pos 4 ke 5 pun lumayan jauh bahkan kita sampai ke Pos 5 itu sekitar jam 05.00 dan terpaksa harus nge camp disana.

Karena matahari mulai terbenam kami pun segera membuat tenda di Pos 5, kadang kita harus nyari tempat yang pas buat camp, tak begitu mudah mencari tempat kadang banyak orang rela melanjutkan perjalanan di gelap malam demi mencari tempat yang sesuai dengan jumlah pendaki. Bayangan bagi pemula pasti takut kalo nge camp semalaman di tengah hutan. Jangan khawatir karena pendaki gunung itu banyak sekali bahkan bisa nyampe ribuan, jadi api unggun selalu hadir untuk menyinari dan menghangatkan kita. Ku lihat keluar banyak sekali yang nge camp, tapi sayangnya aku ga bisa liat bintang karena tertutupi ranting ranting pohon. Kemudian untuk mengisi rasa sepiku, aku bertanya pada tetangga camp yang ada di sebelah.
"Permisi mau nanya, Kalian berasal dari mana ?"
"Kami dari Jakarta, tapi ada satu dari Cirebon yang ikut ke rombongan kami" Jawabnya
"Mas sendiri ?"
"Saya dari Bandung"
"Mas lagi masak apa ?" Tanyaku
"Ini lagi masak tahu dari tadi belum mateng"
......(To be continued)